Sejarah Kadipaten Onje
Sejarah Kadipaten Onje
Sejarah Kadipaten onje, kadipaten Arenan,
dan babad cahyana terkait
satu sama lainya
Setelah mencapai usia senja, Syekh Wali Rakhmat lalu
kembali pulang ke negerinya. Pimpinan daerah Rajawana diserahkan kepada putera
sulungnya bemama Pangeran Makhdum Kusen. Konon pada suatu hari Pangeran Makhdum
Kusen pernah dipanggil oleh Adipati Onje. Panggilan itu tidak jelas apa
sebenamya yang dimaksud. Maka Pangeran Makhdum Kusen rnenolaknya untuk datang
menghadap kc Kadipaten Onje, dengan alasan meskipun desa Rajawana termasuk
kekuasaan Kadipaten Onje, namun desa ini hakekamya adalah milik,Allah s.w.t,
Dan di desa ini Pangeran Makhdum Kusen tidalc akan berbuat suatu kejahatan
terhadap siapapun juga, apalagi terhadap seorang Adipati. Apabila sang Adipati
menghendaki berlemu, maka djpersilahkan datang saja ke desa Rajawana.
Pangeran MakhdumKusen bersedia
menerima dan menemuinya dengan senang hati. Namun penolakan itu dianggapnya
oleh Adipati Onje suatu penghinaan. Atas kemarahannya adipati Onje lalu mengirim
pasukan untuk menangkap Pangeran Makhdum Kusen. Akan tetapi sial, sebelum para
prajurit pasukan Kadipaten Onje memasuki desa Rajawana, hari keburu malam hari
(sudah kemalaman). Akhirnya kedafangan pasukan Kadipa Len Onje ini dapat
diketahui oleh masyarakat Rajawana Lermasuk pangeran Makhdum Kusen sendiri.
Oleh karena itu Pangeran Makhdum Kusen mengumpulkan beberapa
orang wanita, agar membunyikan rebana di serambi muka. Sedangkan ia sendiri
melakukan shalat hajat di dalam kamar. Bersamaan dengan terdengarnya suara
rebana tadi, ribuan ekor tawon gang dengan secara tiba-tiba dan serempak
terbang menyerang dan melabrak perajurit-perajurit Kadipaten Onje, yang tengah
mempersiapkan tempat untuk bermalam di tepi salah sebuah sungai. Karena tak
tahan menghadapi binatang-binatang bersengat Lersebut, terpaksa mereka lari
tunggang langgang dan pulang kc kadipaten Onje. Penabuhan rebana ini hingga
sekarang disebut ”Braen” yang merupakan kesenian khas desa Rajawana dan
sekitarnya. Pangeran Makhdum Kusen yang terkenal pula dengan nama Pangeran Kayu
Puring, menurunkan putera bemama pangeran Makhdum jamil. Pangeran Makhdum Jamil
menurunkan dua orang putera, masing -masing :
(1) Pangeran Makhdum Tauret, yang dimakamkan di Bogares-Tegal
(2) Pangeran Makhdum Wali Prakosa, yang dimakamkan di desa
Pakiringan-Purbalingga
Pangeran Makhdum Wali
Prakosa, tegakkan Mesjid Demak
Konon diceritakan bahwa sewaktu Mesjid Demak selesai dibangun,
Sunan Bonang tertegun bingung. Mesjid yang baru didirikan itu temyata miring.
Untuk membongkar kembali sulit, umuk menegakkanpun tak gampang. Bukan
hanya Sunan Bonang yang
tertegun.Wali lain yang berjumlah sembilan itu juga ikut bingung. Di tengah
kebingungan itu, muncullah seorang santeri bertubuh kerempeng mengangkat
tangan. “Hal bocah Cahyana, nampaknya kau mau usul?” tegur Sunan Bonang. Yang
dimaksud “bocah Cahyana” adalah santeri muda namanya Makhdum asal perbukitan
Cahyana wilayah Purbalingga bagian timur laut. "Bagaimana kalau hamba jadi
palu, sedangkan yang Mulia para Wali menjadi ganden? Insya Allah mesjid dapat
menjadi tegak,” sahut santeri kerempeng itu. Sunan Bonang terdiam, semua diam,
Sultan Trenggono yang di dekat tempat itupun terdiam. Apa' yang kau
maksud, Makhdum?" tanya Sultan Trenggono. “Bila paduka berkenani para wali
Sembilan berdoa, saya yang mengamini. Semoga Tuhan memberi kekuatan,” jawab
Makhdum. Baiklah, kita laksanakan,” ujar. Sultan Trenggono. Para Wali Sembilan
ilu berdoa, si santeri kerempeng dari Cahyana itu mengamini, namun tak
satupun tiang-Liang mesjid itu bergerak : “Bagaimana, Makhdum? Tukas Sultan.
“Ampun, Sinuwun, kalau Sinuwun berkenan, ijinkanlah hamba yang berdoa, para
Wali Sembilan yang mengamini, dengan menyebul asma Allah, insya Allah mesjid
dapat menjadi legak.” jawab bocah Cahyana itu. Sultan Trenggono segera
memberikan restu. Sambil memegangi tiang masing-masing buatannya, mesjid Demak
dapat berdiri tegak. Semua mengucapakn puji syukur. “Keperkasaan itu berkal
doamu, hai Makhdum. Maka kau kuberi gelar Wali Prakosa. Tugasmu meng-Islam-kan
para kawula di lereng bukit Cahyana,” ucap Sultan Trengggno. Nah,
pemuda Cahyana yang bemama Makhdum itu dikenal sebagai Wali Prakosa. ia menjadi
penyebar agama Islam di belahan timur Purbalingga kembalinya dari Demak,
Makhdum Wali Prakosa mendiri- kan pondok pésantren di hamparan Igir Cahyana
yang kemudian disebut Pakeringani yang artinya tempat yang dimuliakan. Ucapan
tersebui akhimya berubah menjadi Pakiringan, sekarang menjadi ibukota Kecamatan
Karangmoncol.
Makhdum Wali Prakosa semakin mempunyai banyak santeri yang
datang dari berbagai penjuru. Tanah Perdikan sebagai hadiah "Sinu-wun
Sultan Trenggono, digunakan untuk kemakmuran rakyat. Seking banyaknya santeri
yang datang dari jauh, Wali Prakosa selalu menasehalkan képada para
pawongannya, agar gemar memberi makan kepada para santeri itu :
"Tak baik apabila pawongan di sini menjual nasi?' Akan
tetapi berikanlah secara sukarela", demikian nasehatnya. Dari nasehai itu
temyala menjadi pepali (sesuatu yang dilarang) bagi penduduk pakiringan, sampai
seka- rang jarang kita temukan warung nasi di kota Kecamatan ini. Walaupun kita
akui, sudah mulai ada yang melanggar pepali tersebut. Dilarang menjual nasi
agar memberi suka rela kepada para santeri agar mereka tenang menuntut ilmu.
Nasi tidak mereka jual, tetapi ketupat atau Iontong boleh. Babad dan sejarah
Purbalingga tidak mcnyebutkan secara terperinci. hanya disebutkan Wali Prakosa
adalah keturunan Syekh Atas Angin, seorang wali yang datang dari negeri Parsi,
dcngan sebutan Syehk Wali Rakhmat. Konon Syekh Wali Rachmat yang bcrhasil
mengIslamkan seorang pertapa putera Pajajaran, yang Lengah mencari “nur”
(cahaya). Dia kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Jambu Karang yang memiliki
penignggalan Ardi Lawet, tempat pasujarahan yang paling ramai di eks
Karesidenan Banyumas. Ardi Lawet termasuk desa Panusupan, Kecamtan Rembang,
Kabupalen Purbalingga. ~ ..
Demikian kisah yang bersumber dari buku kuno huruf-’Jawa tulisan
tangan yang disodorkan Ki Wiryatmi (57), juru kunci makam Wali Prakosa didesa
Pakiringan, Kecamalan Karangmoncol, Kab Purbalingga; Ki Wiryatmi menjelaskan,
bahwa Ia menjadi juru kunci makam Wali Prakosa merupakan jabatan warisan
ayahnya. Ayahnyapun menerima kedudukan warisan dari neneknya. Pangeran Makhdum
Wali Prakosa mcnurunkan 2 (dua) orang putera,yaitu :
(1) Kyai Singayuda,
Adipati Arenan (Kecamatan Kaligondang Kabuputen Purbalingga)
(2) Pangeran Astri, yang menikah dengan putera Sunan Kudus, atau
Icbih dikenal dengan sebutan Santri Gudig yang makamnya di Cilacap.
Kyai Singayuda menurunkan seorang pulera-puleri yaitu :
1. Nyai Tegal Pingen atau
Pertiwati, diperisteri oleh Raden Tumenggung Dipayuda III, Bupati Purbalingga
ke I (pertama) tahun 1759-1787.
2. Pertimasa, yang wafat dalam pertempuran mempertahankan Kadipaten
Arenan yang di serah oleh Kadipaten Onje, karena tipu muslihat Adipati Onje
Comments
Post a Comment